TAUKIL WALI
Taukil Wali
DI DALAM Kompilasi Hukum Islam (KHI), diatur tentang syarat perkawinan. Pasal 14 menyebutkan, apa yang biasa dalam kitab fikih disebut dengan rukun nikah. Dikatakan bahwa untuk melaksanakan perkawinan, harus terpenuhi lima rukun, yakni ada calon suami, calon isteri, wali nikah, dua orang saksi, dan prosesi ijab-qabul.
Umumnya, kita melihat, dalam setiap prosesi akad nikah, formasi pengaturan tempat duduk orangtua kandung calon pengantin wanita yang menjadi wali nikah, selalu berada di depan calon pengantin pria. Pernah ada yang meminta penjelasan masalah tersebut. Dalam sebuah acara pernikahan, dia melihat justru orangtua calon pengantin wanita, yang pada waktu itu juga hadir, hanya menyaksikan pernikahan tersebut dari luar arena. Pihak yang meng-ijab-kan adalah Penghulu dari KUA.
Dalam acara pernikahan lainnya, yang bertindak sebagai wali nikah adalah ayah kandung calon mempelai wanita namun karena yang bersangkutan berhalangan hadir, yang meng-ijab-kan adalah salah seorang keluarganya yang lain.
Kejadian-kejadian tersebut, sering kita saksikan dalam acara pernikahan. Orang awam mungkin akan bertanya, apakah wali nikahnya adalah hakim? Ataukah ada aturan tersendiri, terkait dengan wali nikah yang berhalangan hadir saat acara pernikahan?
Sesuai ajaran Islam, posisi wali nikah bagi calon pengantin wanita tetap-lah orangtua atau wali nasabnya. Status wali, tidak bisa digantikan, manakala yang bersangkutan secara meyakinkan tidak terdapat halangan, yang membolehkan orang lain untuk menggantikan posisinya. Apalagi secara tegas, Penghulu yang menghadiri pernikahan tersebut, menyatakan bahwa wali adalah orangtua atau wali nasabnya. Akan tetapi dalam praktiknya, mengapa yang meng-ijab-kan adalah orang lain, bukan sang wali?
Dalam konteks seperti itu, sesungguhnya ada proses yang dinamakan taukil wali atau berwakil wali. Maksudnya adalah sang wali yang berhak tadi, mewakilkan haknya untuk menikahkan kepada orang yang lain yang dipercaya.
Ada dua macam cara ber-wakil wali, yakni taukil bil kitabah dan taukil bil lisan. Pertama, taukil bil kitabah adalah proses ber-wakil dengan pernyataan tertulis. Contohnya, apabila wali nasab berhalangan hadir dalam acara pernikahan, maka sang wali menyerahkan atau mewakilkan untuk menikahkan wanita yang ia adalah walinya kepada orang yang ditunjuk, boleh dari pihak KUA atau Penghulu atau orang lain yang ia percaya.
Secara teknis, sang wali harus datang ke KUA setempat, menyampaikan maksudnya untuk membuat pernyataan taukil wali. KUA akan memeriksa kebenaran statusnya sebagai wali nikah wanita yang bersangkutan. Selanjutnya, di depan penghulu ia berikrar, membuat pernyataan tertulis, disaksikan oleh saksi-saksi dan diketahui oleh Kepala KUA. Surat tersebut, nantinya menjadi dasar secara administratif maupun munakahat bahwa posisi wali nikah dalam pernikahan tersebut adalah diwakilkan.
Kedua, taukil wali bil lisan, adalah proses berwakil dengan cara lisan. Teknisnya, sang wali berikrar, meminta kepada Penghulu atau siapa saja yang ia percaya, untuk menikahkan calon pengantin wanita yang diwalikannya. Ikrar tersebut, bisa dilakukan di arena atau tempat pernikahan, saat upacara berlangsung, atau di luar itu. Boleh juga, pada saat atau waktu dan tempat yang berbeda, tentunya disaksikan oleh beberapa orang. Contoh lafadz ikrar yang diucapkan oleh wali nikah, “Bapak Penghulu, saya Ferry Kurniawan bin Abdullah, berwakil wali kepada bapak untuk menikahkan adik kandung saya, Erna Fatmawati bin Abdullah, dengan seorang laki-laki yang bernama Widyanto bin Suheri dengan maskawin seperangkat alat sholat tunai.”
Diterangkan di dalam beberapa kitab fikih, di antaranya Kifayatul Akhyar, bahwa wali nikah yang telah berikrar, telah mewakilkan untuk menikahkan calon pengantin wanita, tidak boleh berada di arena upacara pernikahan. Logikanya, sesuatu yang sudah diserahkan kepada orang lain, berupa wakil untuk menikahkan, maka urusannya tidak boleh dicampuri. Itulah sebabnya, kadang kita lihat setelah berikrar, sang wali tidak tampak menyaksikan pernikahan tersebut.
Pertanyaannya adalah apakah hak perwalian berpindah kepada orang yang diserahi sebagai wakil wali tadi? Jawabannya adalah tidak. Status orang tersebut, hanya sebagai wakil untuk menikahkan. Maka, dalam lafadz ijab-qabul, ada tambahan redaksi, “… yang walinya telah berwakil kepada saya…” atau dalam bahasa Arab. “…bi taukili waliyyiha ilayya…” Oleh sebab itu, penandatanganan di dalam kolom wali nikah, pada formulir Akta Nikah (model N) maupun Pemeriksaan Nikah (model NB), tetap dilakukan oleh yang berwakil.
Seiring dengan perkembangan dunia IT (Teknologi Informasi) saat ini, banyak kemudahan yang dijanjikan, di antaranya penggunaan internet, telepon genggam, dan sebagainya. Terkait dengan ikrar wali tadi, sahkah dilakukan dengan memanfaatkan fasilitas teknologi tersebut?
Diskusi yang sering mengemuka tentang masalah ini adalah bahwa memang keberadaan wali nikah menjadi rukun dalam pernikahan. Akan tetapi, sesungguhnya Islam menetapkan pilihan-pilihan teknis dalam menghadirkan wali. Seperti, terhadap wali yang tidak bisa hadir saat pernikahan karena tempat tinggal yang sangat jauh (baid) dari tempat tinggal calon pengantin dan lokasi upacara pernikahan akan dilangsungkan.
Dalam konteks seperti itu, KUA atau Penghulu, dengan pertimbangan tingkat kesulitan, harus menetapkan status wali menjadi hakim, atau sang wali dipertahankan menjadi wali, dengan catatan harus ber-taukil. Manakah yang lebih afdhol? Atau manakah yang lebih ‘aman’ secara hukum?
Jika pilihan pertama ditetapkan, tidakkah penetapan status wali itu menimbulkan persoalan hukum, seperti tuntutan ke polisi, karena sang wali tidak ridho pernikahan anaknya dilakukan dengan status wali hakim.
Jika pilihan kedua, yakni melalui taukil wali, dan yang sangat mungkin dilakukan dengan taukil wali via telepon, maka apakah sah cara seperti itu? Apakah taukil seperti itu dipandang cukup meyakinkan, seseorang dianggap telah berwakil?
Pernah seorang ustadz bercerita tentang perilaku konyolnya saat menikahkan seorang wanita, menerima taukil wali via telepon. Kejadiannya, saat ia berada di Malaysia. Baru diketahui kemudian, bahwa yang menelpon, menyatakan wakilnya kepada sang ustadz, ternyata orang yang hanya mengaku sebagai orangtua calon pengantin wanita, dan saat menelepon, yang bersangkutan, berada tidak jauh dari lokasi pernikahan. Naudzubillahi min dzalika.
Itulah sebabnya, penentuan tentang wali agaknya perlu kehati-hatian. Salah-salah, jika syarat munakahat tidak terpenuhi, tentunya pernikahan juga menjadi tidak sah.
Wallahu a’lam.
*) Tulisan ini diambil dari bab ke-6 buku berjudul “Meniti Keluarga Bahagia dari Bali” karya Dr. Masruhan, M.Si (Denpasar: Penerbit Info Suara Ummat, 2020).